Join VSI Disini

SUPPORT VSI

Sunday, April 21, 2013

Pernikahan Kami

Minggu, 21 April 2013

YOGYA di awal tahun selalu diguyur hujan. Bagi para mahasiswa seperti kami, itulah waktu yang paling menguntungkan buat pacaran. Cukup di teras kos-kosan, tidak harus kemana-mana dan tak perlu keluar biaya.
"Gimana?" tanya Wiwin, kekasihku, sepulangku dari Jakarta untuk wawancara beasiswa Fullbright. Kedua matanya yang lebar menatapku dengan berbinar-binar.
"Insya Alloh lolos," jawabku yakin. Aku sengaja tidak bercerita kalu sudah mendapat bocoran pemberitahuan dari seorang pewawancara di kamar kecil kantor AMINEF ( American Indonesian Exchange Foundation) sebelum pulang kemarin bahwa aku bakal diterima. Lagi pula, sebelum ada bukti tertulis, buat apa membual cerita?.
"Terus nanti aku bagaimana?" tanya Wiwin lagi. Tatapannya menerawang. Kedua matanya seperti mencari-cari sesuatu di balik tirai gerimis yang terus menitik.
"Gampang. Kan ada internet, ada telepon."
Melihat keyakinanku, jelas sekali kini Wiwin tampak gelisah.
Di tengah macam-macam ketidakpastian yang membayang pada hari-hari berikutnya, kami pun mulai membicarakan rencana pernikahan.
Wiwin baru menjalani operasi usus buntu dan sedang mengurus wisuda S2-nya di IAIN Sunan Kalijaga. Beberapa hari setelah itu, ayahnya datang dari Bandung untuk menjenguk.
"Wiwin sudah bercerita tentang Mas," katanya dalam logat Sunda yang sangat kentara ketika kami bertemu. "Bapak cuma ingin memastikan."
Aku sudah paham arah pembicaraannya.
"Saya bersungguh-sungguh. Tapi, maaf, saya tidak punya biaya," jawabku berterus terang. "Asal ijab-qabul cukup dilakukan di kantor KUA, saya siap nikah kapan saja."
Ternyata ayahnya langsung setuju.
Ketika Ibu kuberitahu, ia mengangguk dengan air mata mengenang. Lebih dari yang kurasakan, mungkin hatinya campur aduk tak menentu. Adikku satu-satunya baru meninggal tahun yang lalu, tak lama setelah pernikahannya. Meski di sebuah LSM yang kecil, calon istriku sudah bekerja. Sedangkan aku, selain belum kerja juga sama sekali tak punya apa-apa. Sesederhana apapun yang namanya menggelar hajatan, pasti butuh biaya. Kakakku dan saudara dekat kami yang lain tak ada yang tampak bisa diharapkan untuk dimintai bantuan.
"Bismillah ya nak," ujar ibuku. Aku mengangguk.
Dukungan ibu membuatku merasa gagah.
"Kamu boleh minta mas kawin apa saja," aku pun menantang Wiwin beberapa minggu berikutnya. Kedua matanya yang selalu berbinar memandangku ragu, bahkan tak percaya. "Asal harganya tidak lebih dari satu juta!" kataku selanjutnya.
Kami berdua tertawa sekeras-kerasnya.
Di tengah-tengah para saudara, tetangga dan teman-teman, kami menikah sebulan kemudian. Sebuah perhelatan sederhana diselenggarakan di kampung halaman Wiwin, di balik perkebunan teh di kaki bukit pegunungan Burangrang yang dingin di wilayah Bandung Barat. Semua terasa begitu cepat, sederhana. Tanpa rencana macam-macam, baik sebelum maupun sesudahnya.
Beberapa waktu setelah AMINEF mengirim surat pemberitahuan secara resmi bahwa aku diterima, kami pun berbulan madu. Jangan keliru, meski dengan uang pas-pasan, kami pergi ke Bali dan menginap di hotel berbintang. AMINEF mengundang semua penerima beasiswa Fulbright untuk mengikuti konferensi pra-pemberangkatan di sana. Semua biaya ditannggung panitia. Jatah tiket pesawatku kampakai naik bis Yogya-Denpasar sambil tak henti berpelukan sepanjang jalan!.
Setelah konferensi, kami jalan-jalan ke kampung Tenganan, Tirta Gangga, dan wilayah TImur Bali. Wiwin sudah lama kenal baik dengan banyak warga dan pengelola Ashram Gandhi, sebuah padepokan penganut ajaran anti-kekerasan Mahatma Gandhi yang berdiri tenang di bibir pantai Candi Dasa. Tak peduli segala urusan, berhari-hari kami pun menikmati siang dan malam-malam yang indah bersama deburan ombak yang terus menggelora tepat di luar pintu pondok penginapan kami.
Setelah tanggal keberangkatanku ke Amerika ditetapkan dan sama sekali tidak ada gambaran bahwa kami bakal bisa pergi bersama, Wiwin pasrah. "Semoga aku segera hamil," katanya. "Biar aku tidak ditinggal sendirian."
Keinginan sederhana itu segera terwujud. Kusaksikan kedua matanya yang lebar kian berbinar-binar.
Kini gantian aku yang gelisah. Selain jelas aku tidak akan bisa menunggui kelahiran anak pertama kami kelak, kami nyaris sama sekali tidak punya tabungan. Setelah acara pernikahan itu, kami hanya punya uang buat membayar kontrakan rumah untuk setahun ke depan.
"Bagaimanapun kamu perlu beli celana dan beberapa potong baju. Juga sepatu," kata Wiwin. Selain dua setel baju yang kubeli menjelang pernikahan, semua pakaianku sudah tampak kumal. Kecuali pinjam kepada seorang teman ketika wisuda S1, aku memang tak biasa pakai sepatu.
Beruntung kami punya beberapa teman baik yang segera mengulurkan tangan. Mbak Elga, direktur kantor Wiwin, membantu biaya pembuatan pasporku. Mas Pujo, dosen sekaligus teman baikku, memberikan pinjaman uang. "Nggak usah dipikir kapan kamu mau mengembalikan. Yang penting kamu berangkat dan manfaatkan kesempatan belajar ini sebaik-baiknya," katanya.
"Baik-baik di sana ya," beberapa kali Wiwin mengulang kalimat itu sambil mengelus-elus perutnya ketika kami hendak berpisah di Bandara Adisucipto. Ia kini telah hamil empat bulan. Kedua matanya yang lebar tampak sembab. Aku hanya bisa memeluknya. Aku juga terus memeluk ibuku yang hampir tak henti menitikkan air mata sejak beberapa hari sebelumnya.
Sejak tamat SD aku sebenarnya sudah selalu pergi dari rumah. Tapi kepergianku ke tempat asing sejauh sekarang ini tak pernah terbayangkan oleh ibuku sebelumnya.
"Sudah sana naik," kata ibuku setelah lama kami duduk di ruang tunggu. Pesawat memang sudah tampak siap sejak tadi, tapi panggilan boarding belum juga terdengar. "Kalau nggak cepat naik, nanti tempat duduknya keburu diambil orang," kata ibuku lagi. Ibuku adalah orang kampung dan baru kali ini melihat pesawat dari jarak agak dekat.
Pagi itu, setelah pesawatku benar-benar terbang meninggalkan langit Yogya, hati dan pikiranku serasa telah lebih dulu melayang entah ke mana. Perasaanku kian teraduk-aduk setelah aku ganti pesawat dan terbang meninggalkan Jakarta pada malam harinya. Di antara deru halus mesin pesawat yang melesat dalam ketinggian puluhan ribu kaki melintasi Samudera Hindia, aku melihat diriku bersama para penumpang lain sebagai titik-titik kecil yang tak bernama. Setiap kali aku berusaha terpejam untuk tidur, kedua mata Wiwin yang sembab membayang serta merta. Juga kedua bibir ibuku yang perlahan menggeletar antara menahan tangis dan memanjatkan doa. Tak pernah sebelum ini aku merasa begitu jauh dari mana-mana, dari siapa-siapa.

Philadelphia di musim gugur selalu menakjubkan. Ratusan juta daun pepohonan aneka warna yang sesekali berhamburan dihela angin, orang-orang yang berjalan cepat dalam baju hangat dan segera lenyap masuk lorong stasiun subway di bawah tanah atau menyelinap di balik deret pertokoan yang menjulang di sepanjang Market Street. Juga ribuan burung-burung yang terbang hinggap ketika angin berkecepatan 80 km/jam berhenti bersiul kencang di antara celah dan puncak-puncak gedung yang mengelilingi Taman Cinta dengan air mancur besar berwarna jingga persis di jantung kota.
Aku sungguh bersyukur. Lewat proses panjang yang akan kuceritakan kapan-kapan, Wiwin dan anak kami akhirnya bisa kuajak menyusul ke kota tua ini hampir setahun kemudian. Karena aku akhirnya juga berkesempatan untuk melanjutkan program PhD dan tinggal lebih lama, secara perlahan, kami pun kian bersahabat dengan orang-orang, pergantian musim dan irama kota di mana kampusku, Temple University, menjadi salah satu titik kecil berwarna merah di sisi utara.
Bagiku, hidup sering bergerak menurut garis keajaiban yang tak selalu bisa ditebak arahnya.
Suatu malam di musim dingin, ketika kami sedang bercengkerama di apartemen kami yang sederhana, aku bertanya pada istriku setengah menggoda, "Mah, bagaimana kalau aku mati duluan?"
Lama Wiwin memandangku. Pada kedua matanya yang lebar itu kusaksikan kembali banyak peristiwa susah dan senang dalam hidup kami. Ia jadi saksi, saat terbang ke Amerika untuk pertama kalinya pada 2003 dulu, dari Yogya aku cuma berbekal uang dua ratus ribu perak alias dua puluh dolar.
Afkar, anak sulung kami pernah tak sadarkan diri akibat serangan demam yang kelewat tinggi dan harus dilarikan ke emergency room dengan ambulans pada suatu musim dingin menjelang pagi. Aku jatuh bangun menyelesaikan kuliah sambil bekerja sana-sini, dari mulai jaga laundry, menerjemah, sampai mengajar. Wiwin juga pernah bekerja serabutan, dari mulai baby sitting, jadi buruh pabrik, penjaga toko, sekretaris law office dan dental assistanti. Dua kali lagi ia juga harus menjalani operasi C-section untuk melahirkan Nabila dan Ahsan, anak kedua dan ketiga kami, di negeri yang jauh ini.
"Kenapa ngomong begitu?" ia mencengkeramku, lalu air matanya meleleh deras begitu saja. Kami pun berdekapan tanpa bicara.
Seperti tak terasa, kini pernikahan kami sudah lewat sepuluh tahun. Tak jarang kami bertengkar, termasuk untuk perkara yang sederhana. Tapi bagiku, kedua matanya yang seperti telaga yang selalu memantulkan harapan dan kepercayaan hingga aku bisa terus menyongsong tantangan apa saja sampai hari ini. Dalam situasi yang tetap serba seadanya, kurasa aku termasuk orang yang bahagia.
" I Love you, Mah.."

Yogyakarta, 10 April 2013

Pengirim : ACHMAD MUNJID

1 comment: