Join VSI Disini

SUPPORT VSI

Tuesday, April 30, 2013

Rendam Kaki, Ngantuk Hilang

Selasa, 30 April 2013

HOOOAAAHMM... Begitulah yang sering saya alami setiap belajar di malam hari. Kantuk juga sering menyerang saat guru maupun dosen mengajar di kelas. Bila malam ngantuk, padahal banyak tugas kuliah, ini jelas jadi masalah. Bisa-bisa tugas-tugas tersebut tidak terselesaikan tepat waktu.
Saya teringat masa saya masih SMP. Ada guru yang menyarankan, sewaktu belajar di malam hari, apabila mengantuk, kita dapat merendam kaki di air. Air itu ditempatkan di baskom atau ember kecil. Ketika saya coba, akhirnya terbukti saya tidak mengantuk. Saya dapat mengerjakan tugas kuliah dengan tepat waktu.
Lalu, bagaimana kalau mengantuk di kelas? Tahan saja atau mengulum sedikit garam seperti yang pernah ditulis di rubrik ini. Rasanya ganjil kalau harus membawa ember atau baskom air ke kampus.

Pengirim : DEWEI KINTANI, mahasiswa Perikanan dan Kelautan Unair

Sunday, April 28, 2013

Kemilau Keramik dan Hidup Uje

Senin, 29 April 2013

SEPENINGGAL selebriti tapi ustad membuat dada semua yang mencintai sesak. Ustad Jeffry Al Buchori (Uje) mewariskan ajran ceramah kepada murid-muridnya. Semua harus bangun, tidak terus bersedih, dan perlu mengambil teladan seorang guru. Bukankah seorang Uje semula sempat mencoba narkoba, kemudian menjadi artis, selanjutnya beranjak naik, dan mendekati akhir hayatnya beliau sudah memberi cukup wasiat bahwa saatnya harus kembali kepada Sang Maha Kuasa. Beliau seolah sudah diberi tahu dari kebersihan dan keheningan rasa (bukankah ayat-ayat suci yang dibacakan dan dilantunkan adalah pengasah rohaninya).
Ibarat tanah liat tegalan akan menjadi keramik rendah, seperti gerabah, bata, genting, dibakar pada suhu 600 derajat Celsius. Untuk meningkatkan kualitasnya, keramik dibakar sampai derajat tinggi 1.200 derajat Celsius. Dia perlu berteman dan bergabung dengan bahan berderajat tinggi, seperti kaolin, feldspar, dan bahan tanah khusus. Meski menjadi keras seperti batu karena disatukan lewat dipadatkan dan digiling, egonya sudah tidak tampak lagi. Jadilah tea set, cangkir, piring nan kemilau, yang nilainya jauh lebih tinggi.

Pengirim : R. BAMBANG GATOT SUBROTO, subrotobambang11@yahoo.com

 

Asyiknya Naik Kereta Api Tut.. Tut...

Sabtu, 27 April 2013

SEJAK menjadi mahasiswa di semarang pada 2009, saya sering naik kereta api surabaya-semarang. Jika dulu kereta api rentan dengan copet, pengamen, penjual asongan, kotor, jorok dan bau, serta suasana berdesakan, sekarang tidak demikian lagi. Kondisinya semakin tertib. Tak ada penumpang yang berdiri. Mereka harus menunjukkan KTP. Jika kartu identitasnya tidak cocok, petugas akan menolak.
Petugasnya kebanyakan masih muda dan disiplin. Gerbong semakin bersih. Polisi khusus KA (polsuska) yang kebanyakan masih muda hilir mudik. Mereka memeriksa pintu-pintu gerbong dan memberikan rasa aman kepada penumpang.
Pelayanan pembelian tiket bisa dilakukan secara daring ( online ). Ini wujud kepedulian PT. KAI untuk mencegah masyarakat menjadi korban calo. Tekad tersebut benar-benar tak sebatas slogan dan jargon. Bahkan, tiket bisa dibeli di minimarket online modern yang tersebar hingga pelosok. Memang ada kenaikan harga tiket. Namun, itu lebih baik daripada karcis murah meriah, namun keretea kotor, tak aman, penumpang berjejal, dan rentan celaka.

Pengirim : ACHMAD MARZUKI, mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, Asal Bondowoso.

Saturday, April 27, 2013

Agar Kambing Pakde Tak Sia-Sia

Jum'at, 26 April 2013

BEBERAPA minggu lalu di Lumajang, salah satunya di Desa Yosowilangun Kidul, diadakan pembagian kambing kacang untuk rakyat kecil. Selain kambing, bantuan dari Gubernur Jatim Soekarwo atau Pakde Karwo itu berupa becak dan alat tukang. Semua diberikan kepada masyarakat miskin. Repotnya, pagi dibagi, "sore" sudah banyak yang berpindah tangan alias dijual. Sebenarnya tujuan Pemprov Jatim sangat baik, ingin memberdayakan masyarakat dengan cara memberikan pancing, bukan ikan. Tetapi, tanpa pendampingan, pancingnya pun dijual dan dibelikan ikan.
Agar efektif, berdayakan dulu masyarakat menengahnya. Misalnya, peternak kelas menengah yang punya beberapa puluh ekor kambing diberi bantual bibit unggul seperti merino atau domba garut. Setiap peternak mendapat 10 ekor dan harus mengembalikan 20-30 ekor blasteran. Ternak blasteran itu dibagikan ke tetangganya yang miskin untuk dipelihara. Dia bertanggung jawab untuk membimbing tetangganya tadi yang akan menjadi plasma. Bibit unggul tetap dipelihara peternak besar karena mereka mampu.
Dengan begitu, tercipta kerjasama dan solidaritas ekonomi yang bisa menaikkan taraf hidup masyarakat miskin sekaligus meningkatkan populasi ternak untuk mewujudkan swasembada daging.

Pengirim : dr. SIGIT SETYAWADI, Pensiunan dokter, mengembangkan peternakan-pertanian di Lumajang ( sigit_wealth@yahoo.co.id)

Friday, April 26, 2013

Seragam Bekas untuk si Terpencil

Kamis, 25 April 2013

SELALU ada kebiasaan siswa-siswi setelah menyelesaikan unas atau lulus sekolah, yakni mencoret-coret seragam sekolah. Tindakan itu sangat disayangkan karena seragam yang masih layak dikenakan harus tersia-sia untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.
Alangkah baiknya jika seragam-seragam tersebut dikumpulkan untuk diberikan kepada siswa-siswi yang membutuhkan. Ini mengingat masih banyak siswa di desa atau daerah terpencil yang mengenakan seragam lusuh. Ada pula yang memakai seragam peninggalan kakak-kakaknya yang diwariskan dari tahun ke tahun.
Kesediaan berbagi seragam ini tentu akan sangat berarti dan menjadi motivasi bagi siswa-siswi yang menerimanya untuk belajar.
Bagi yang rela berbagi, hal ini juga bukti nyata pengamalan pendidikan karakter dan perasaan kebangsaan yang diterima siswa-siswi tersebut selama di sekolah masing-masing.

Pengirim : NEREUS ARKHI SINGGU, guru SD. Jl. J. Lalamentik, Faobata, Bajawa, NTT (nsinggu@yahoo.com)

Me-lelang Property UJE Untuk para Jama’ah dan Fans



Hari ini kita sangat dikejutkan dengan berita mendadak kematian UJE Sang Ustadz Gaul karena kecelakaan tunggal pada dini hari. Hampir seharian ini semua televisi menayangkan berita eksklusif tentang Ustadz Gaul ini. Walaupun kita semua pasti tahu bahwa kita yang hidup ini pasti akan mati. Namun, yang namanya kehilangan pasti akan meninggalkan kesedihan terutama kehilangan sesuatu yang tak mungkin bisa kembali lagi.
Sebagai seorang Ustadz Gaul yang memiliki jama’ah dari kalangan Ibu-ibu sampai dengan kalangan muda-mudi dan pelajar, pastilah sangat banyak yang meng-idolakan UJE. Untuk mengobati rasa duka dan galau, maka property UJE banyak yang mengidolakannya. Seperti kita ketahui bersama, selain seorang ustadz, beliu juga menjadi salah satu trendsetter fashion. Sehingga muncul istilah Baju Koko UJE. Dengan melelangkan property milik UJE tersebut akan mampu mengobati rasa galau para jama’ah dan kesedihan Istri, anak-anak beliau serta keluarga dekat akan menjadi terobati bahwa diluar sana banyak juga masyarakat yang merasa kehilangan beliau dengan wujud support dan respect yang mendalam terhadap beliau. Dana hasil dari acara lelang tersebut bisa kemudian disedekahkan kepada yang berhak sebagai amal baik keluarga yang ditinggalkan.

Tayangan Memancing Menyakitkan

Rabu, 24 April 2013

MELIHAT tayangan acara memancing di sebuah televisi membuat saya tak nyaman. Ikan yang tertangkap mata kail itu dilepaskan lagi ke habitatnya. Tampaknya, acara memancing di televisi tersebut tidak bertujuan mendapatkan ikan, namun hanya bersenang-senang di atas derita ikan. Bagaimana mungkin, ikan yang sudah kesakitan dan berdarah-darah dilepaskan lagi? Apalagi dalihnya untuk melestarikan populasinya.
Tak berpikirkah bahwa bekas mata kail itu menyakitkan? Ikan harus berhari-hari menderita sampai luka sembuh? Bagaimana jika ia ternyata tak mampu bertahan dan mati sia-sia? Saya merasa ini adalah eksploitasi kesadisan mengatasnamakan hiburan.
Akan lebih bijaksana dan manusiawi bila ikan yang tertangkap dibawa pulang untuk dikonsumsi atau diberikan kepada orang yang membutuhkannya. Bisa juga, hasil tangkapan tersebut dijual dan hasil tangkapan tersebut disumbangkan kepada rakyat miskin. Itu lebih bermartabat daripada melepasnya lagi. Memancing lazimnya adalah bagian untuk menangkap ikan demi memenuhi kebutuhan. Jangan sampai makna memancing terdistorsi dengan hiburan yang menyakitkan itu.

Pengirim, YUSUF CAHYONO, Kaloran Lor, Giritirto, Wonogiri, Jawa Tengah.

Tuesday, April 23, 2013

Rakyat dan Emas Banyuwangi

Selasa, 23 April 2013

POTENSI pertambangan emas di hutan jati Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, telah memicu dua masalah penting. Pertama, terjadi perebutan konsesi eksplorasi dan produksi tambang oleh beberapa perusahaan besar nasional dan internasional. Perebutan di wilayah hutan Perhutani itu menyeret bupati Bnayuwangi sebagai tergugat di peradilan tata usaha negara.
Kedua, di wilayah yang sama, juga berlangsung penambangan emas tanpa izin (PETI). Penambangan jenis ini sering disebut "penambang liar" atau bahkan, "penjarah" karena memang tanpa izin. Pada 2011 Polres Banyuwangi melakukan penertiban besar-besaran. Jumlah penambang menyusut dari 3.000 menjadi 600 orang. Kini jumlahnya meningkat lagi dan Polres Banyuwangi dikabarkan akan kembali menertibkannya.
Terlepas dari perebutan bisnis pertambangan oleh industri besar pengadilan, kemaslahatan rakyat banyak pada masalah kedua memerlukan penanganan. Konon, ada banyak potensi pertambangan di Banyuwangi. Pemda setempat harus mampu mengelola hak-hak rakyat untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam bagi kesejahteraan mereka. Bagaimana pendekatan kesejahteraan sebaiknya ditempuh?
Faktor ekonomi, seperti kemiskinan, sering mendorong masyarakat untuk menggali bahan tambang demi menafkahi hidupnya meski tanpa izin. Pada umumnya PETI dilakukan dalam skala kecil (small-scale mining), karena itu dikategorikan sebagai pertambangan rakyat. Pertambangan ini memiliki karakteristik lain : dukungan modal yang kecil, bersifat padat karya, berteknologi sederhana, mengabaikan standar keselamatan dan kesehatan, serta membawa dampak lingkungan.
Sebetulnya PETI membuka lapangan kerja dan mendorong perekonomian lokal. Namun, dampak negatifnya juga perlu ditangani. Ada beberapa dampak penting. Pertama, dampak ekonomi makro  karena berkurangnya pendapatan daerah atau negara. Sebaliknya, penambang berizin dibebani berbagai kewajiban finansial, seperti pajak perusahaan dan royalti. Kedua, karena dilakukan masyarakat berpengetahuan terbatas, PETI berdampak negatif pada lingkungan. Kegiatannya sering kurang memperhatikan tata laksana penambangan yang benar,  mengabaikan kaidah lingkungan dan keselamatan kerja, tidak menangani limbah padat dan cair, serta merusak sumber air bawah tanah. Ketiga, potensi terjadi masalah umum keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas).

Melegalisasi Penambang "Liar"
Pengusiran dan penutupan paksa PETI tanpa disertai kebijakan untuk mengatasi masalah yang kompleks itu tidak akan berhasil mengurangi PETI. Penertibannya oleh kepolisian sering menghadapi perlawanan masyarakat, bahkan memicu kerusuhan sosial yang cukup meluas.
Praktik internasional tidak merekomendasikan untuk memberantasnya secara total, melainkan menerapkan pendekatan kesejahteraan dengan menghormati hak-hak rakyat. Orientasinya adalah mengurangi kemiskinan melalui pembukaan aktivitas ekonomi, sekaligus mengurangi dampak pada lingkungan dan melaksanakan konservasi sumber daya alam.
Maka, penanganan penambangan emas tanpa izin disarankan menerapkan pendekatan teknis pertambangan, ekonomi dan sosial dengan kerja sama di antara para pemabngku kepentingan. Berdasar UU 32/2004 tentang Pemda dan PP 38/2007 tentang pembagian Urusan Pemerintahan, pemerintah kabupaten/kota dapat menangani urusan energi dan sumber daya mineral. Lebih khusus, UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk mengelola pertambangan minerba sampai 4 (empat) mil wilayah laut, termasuk mengizinkan pertambangan rakyat.
Secara teknis, pemda dapat melegalisasi dengan memberi izin pertambangan rakyat. Melalui izin pertambangan rakyat, penambang yang memenuhi syarat diberi insentif, misalnya pelatihan dan pembinaan bahkan permodalan. Nah, penambang yang mengabaikan praktik penambangan yang benar dan ketertiban publik perlu ditindak tegas.
Kerja sama para pemangku kepentingan melibatkan peran pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset dan perguruan tinggi, serta industri pertambangan berskala besar. Di sini perusahaan-perusahaan besar pertambangan dituntut untuk menjalin hubungan yang bersifat kolaboratif dengan pertambangan rakyat, bukan sekedar berbentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
Implementasi pendekatan di atas memerlukan instrumen hukum. Apabila instrumen hukumnya mendukung, arah kebijakan ini akan memperjelas status penambang, memberikan pemasukan bagi daerah agar dapat dialokasikan untuk fasilitas kesehatan dan pengelolaan lingkungan, menuntut pemerintah daerah melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta membantu penyelenggaraan kamtibmas. Komponen penting kamtibmas bukan hanya upaya represif dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), termasuk mengusir penambang tanpa izin, melainkan mencakup upaya preventif.
Pemda dapat menyusun kebijakan yang berorientasi kesejahteraan rakyat dalam menangani penambang tanpa izin, yaitu mengembangkan pertambangan rakyat. Orientasi ini memerlukan perumusan kebijakan yang cukup komprehensif, termasuk menyiapkan perngkat hukum dan kelembagaan untuk implementasinya. Peluang otonomi daerah ini seharusnya dimanfaatkan pemda, sebelum UU Pemda 2004 direvisi oleh DPR dan pemerintah. Kewenangan atas sektor pertambangan direncanakan ditarik dari kabupaten/kota ke provinsi. Karena dikategorikan berdampak ekologis dan pengelolaannya dinilai sering menyimpang, kewenangan itu dicabut; bukan pembinaan, pengawasan, dan sanksi terhadap kabupaten/kota yang diperkuat.

Pengirim : M. FAJRUL FALAAKH, Dosen Fakultas Hukum UGM Jogjakarta (fajrulflaakh@yahoo.com)

Monday, April 22, 2013

Kartini Tidak Ngerumpi

Selasa, 23 April 2013

HARI Kartini identik dengan gemuruh suara emansipasi. Kartini menyuarakan lewat surat dan tulisannya. Seandainya Kartini hanya bicara, tentu pemikirannya sulit dilacak lagi. Untuk memperingati perjuangan Ibu Kartini yang cerdas itu, ada baiknya kita sebagai perempuan juga menjadikannya hari untuk introspeksi diri sendiri. Terutama, kebiasaan perempuan yang saling menyakiti sesama kaumnya sendiri. 
Secara tak sadar, kadang permpuan mencela kekurangan perempuan lain yang sejatinya tak bisa diubah kecuali dengan kuasa Tuhan. 
Acapkali para perempuan lain mencela, merumpikan, atau bahkan berkata secara langsung bahwa dia bukan perempuan sempurna. Mari mengubah paradigma tentang pengertian perempuan sempurna. Perempuan sempurna itu adalah yang perilaku dan kata-katanya bermanfaat dan tak pernah menyakiti sesama perempuan dan sesama manusia umumnya.

Pengirim : ARIS SAYYIDATUL ILMI, Kedawong, Diwiek, Jombang, Anggota IIDN ( Ibu-Ibu Doyan Nulis ) Jawa Timur.

Sunday, April 21, 2013

Siap Uang Koin Di Dompet

Senin, 22 April 2013

Sebagai petugas kebersihan yang bergaji dibawah UMR, saya sering dipusingkan dengan kembalian berupa permen di minimarket, supermarket atau toko swalayan mana pun. Kembalian Rp. 100 atau Rp. 200, yang bagi kalangan berduit tidak masalah, sangat berarti buat saya. Coba Rp. 200 dikali lima, sudah jadi seribu rupiah, kan?. Uang seribu bisa dipakai sebagai tambahan uang beli bensin. Sementara itu, kembalian permen sering tidak termakan.
Nah, daripada terus pusing, di dompet selalu saya sediakan uang koin. Tidak terlalu banyak. Cukup seribu rupiah. Itu terdiri atas satu uang koin Rp. 500, dua koin Rp. 200, dan satu koin Rp. 100. Kini, meski frekuensi belanja saya di swalayan tidak terlalu sering (hanya kalau ada diskon gede-gedean atau barang yang saya cari tidak ada di toko sebelah rumah). Saya selalu siap sedia dengan uang koin. Kalau belanjaan saya ditotal, misalnya Rp. 70.200, saya keluarkan koin Rp. 200. Sebelum kasir memberi permen, saya terlebih dulu menyodorkan koin itu. Sang kasir pun menerimanya dengan senang hati sambil berucap terima kasih.

Pengirim : YALUD HANIF, Jl. Harun Tohir, Gresik, ( yalhan_gresik@yahoo.com )

Pernikahan Kami

Minggu, 21 April 2013

YOGYA di awal tahun selalu diguyur hujan. Bagi para mahasiswa seperti kami, itulah waktu yang paling menguntungkan buat pacaran. Cukup di teras kos-kosan, tidak harus kemana-mana dan tak perlu keluar biaya.
"Gimana?" tanya Wiwin, kekasihku, sepulangku dari Jakarta untuk wawancara beasiswa Fullbright. Kedua matanya yang lebar menatapku dengan berbinar-binar.
"Insya Alloh lolos," jawabku yakin. Aku sengaja tidak bercerita kalu sudah mendapat bocoran pemberitahuan dari seorang pewawancara di kamar kecil kantor AMINEF ( American Indonesian Exchange Foundation) sebelum pulang kemarin bahwa aku bakal diterima. Lagi pula, sebelum ada bukti tertulis, buat apa membual cerita?.
"Terus nanti aku bagaimana?" tanya Wiwin lagi. Tatapannya menerawang. Kedua matanya seperti mencari-cari sesuatu di balik tirai gerimis yang terus menitik.
"Gampang. Kan ada internet, ada telepon."
Melihat keyakinanku, jelas sekali kini Wiwin tampak gelisah.
Di tengah macam-macam ketidakpastian yang membayang pada hari-hari berikutnya, kami pun mulai membicarakan rencana pernikahan.
Wiwin baru menjalani operasi usus buntu dan sedang mengurus wisuda S2-nya di IAIN Sunan Kalijaga. Beberapa hari setelah itu, ayahnya datang dari Bandung untuk menjenguk.
"Wiwin sudah bercerita tentang Mas," katanya dalam logat Sunda yang sangat kentara ketika kami bertemu. "Bapak cuma ingin memastikan."
Aku sudah paham arah pembicaraannya.
"Saya bersungguh-sungguh. Tapi, maaf, saya tidak punya biaya," jawabku berterus terang. "Asal ijab-qabul cukup dilakukan di kantor KUA, saya siap nikah kapan saja."
Ternyata ayahnya langsung setuju.
Ketika Ibu kuberitahu, ia mengangguk dengan air mata mengenang. Lebih dari yang kurasakan, mungkin hatinya campur aduk tak menentu. Adikku satu-satunya baru meninggal tahun yang lalu, tak lama setelah pernikahannya. Meski di sebuah LSM yang kecil, calon istriku sudah bekerja. Sedangkan aku, selain belum kerja juga sama sekali tak punya apa-apa. Sesederhana apapun yang namanya menggelar hajatan, pasti butuh biaya. Kakakku dan saudara dekat kami yang lain tak ada yang tampak bisa diharapkan untuk dimintai bantuan.
"Bismillah ya nak," ujar ibuku. Aku mengangguk.
Dukungan ibu membuatku merasa gagah.
"Kamu boleh minta mas kawin apa saja," aku pun menantang Wiwin beberapa minggu berikutnya. Kedua matanya yang selalu berbinar memandangku ragu, bahkan tak percaya. "Asal harganya tidak lebih dari satu juta!" kataku selanjutnya.
Kami berdua tertawa sekeras-kerasnya.
Di tengah-tengah para saudara, tetangga dan teman-teman, kami menikah sebulan kemudian. Sebuah perhelatan sederhana diselenggarakan di kampung halaman Wiwin, di balik perkebunan teh di kaki bukit pegunungan Burangrang yang dingin di wilayah Bandung Barat. Semua terasa begitu cepat, sederhana. Tanpa rencana macam-macam, baik sebelum maupun sesudahnya.
Beberapa waktu setelah AMINEF mengirim surat pemberitahuan secara resmi bahwa aku diterima, kami pun berbulan madu. Jangan keliru, meski dengan uang pas-pasan, kami pergi ke Bali dan menginap di hotel berbintang. AMINEF mengundang semua penerima beasiswa Fulbright untuk mengikuti konferensi pra-pemberangkatan di sana. Semua biaya ditannggung panitia. Jatah tiket pesawatku kampakai naik bis Yogya-Denpasar sambil tak henti berpelukan sepanjang jalan!.
Setelah konferensi, kami jalan-jalan ke kampung Tenganan, Tirta Gangga, dan wilayah TImur Bali. Wiwin sudah lama kenal baik dengan banyak warga dan pengelola Ashram Gandhi, sebuah padepokan penganut ajaran anti-kekerasan Mahatma Gandhi yang berdiri tenang di bibir pantai Candi Dasa. Tak peduli segala urusan, berhari-hari kami pun menikmati siang dan malam-malam yang indah bersama deburan ombak yang terus menggelora tepat di luar pintu pondok penginapan kami.
Setelah tanggal keberangkatanku ke Amerika ditetapkan dan sama sekali tidak ada gambaran bahwa kami bakal bisa pergi bersama, Wiwin pasrah. "Semoga aku segera hamil," katanya. "Biar aku tidak ditinggal sendirian."
Keinginan sederhana itu segera terwujud. Kusaksikan kedua matanya yang lebar kian berbinar-binar.
Kini gantian aku yang gelisah. Selain jelas aku tidak akan bisa menunggui kelahiran anak pertama kami kelak, kami nyaris sama sekali tidak punya tabungan. Setelah acara pernikahan itu, kami hanya punya uang buat membayar kontrakan rumah untuk setahun ke depan.
"Bagaimanapun kamu perlu beli celana dan beberapa potong baju. Juga sepatu," kata Wiwin. Selain dua setel baju yang kubeli menjelang pernikahan, semua pakaianku sudah tampak kumal. Kecuali pinjam kepada seorang teman ketika wisuda S1, aku memang tak biasa pakai sepatu.
Beruntung kami punya beberapa teman baik yang segera mengulurkan tangan. Mbak Elga, direktur kantor Wiwin, membantu biaya pembuatan pasporku. Mas Pujo, dosen sekaligus teman baikku, memberikan pinjaman uang. "Nggak usah dipikir kapan kamu mau mengembalikan. Yang penting kamu berangkat dan manfaatkan kesempatan belajar ini sebaik-baiknya," katanya.
"Baik-baik di sana ya," beberapa kali Wiwin mengulang kalimat itu sambil mengelus-elus perutnya ketika kami hendak berpisah di Bandara Adisucipto. Ia kini telah hamil empat bulan. Kedua matanya yang lebar tampak sembab. Aku hanya bisa memeluknya. Aku juga terus memeluk ibuku yang hampir tak henti menitikkan air mata sejak beberapa hari sebelumnya.
Sejak tamat SD aku sebenarnya sudah selalu pergi dari rumah. Tapi kepergianku ke tempat asing sejauh sekarang ini tak pernah terbayangkan oleh ibuku sebelumnya.
"Sudah sana naik," kata ibuku setelah lama kami duduk di ruang tunggu. Pesawat memang sudah tampak siap sejak tadi, tapi panggilan boarding belum juga terdengar. "Kalau nggak cepat naik, nanti tempat duduknya keburu diambil orang," kata ibuku lagi. Ibuku adalah orang kampung dan baru kali ini melihat pesawat dari jarak agak dekat.
Pagi itu, setelah pesawatku benar-benar terbang meninggalkan langit Yogya, hati dan pikiranku serasa telah lebih dulu melayang entah ke mana. Perasaanku kian teraduk-aduk setelah aku ganti pesawat dan terbang meninggalkan Jakarta pada malam harinya. Di antara deru halus mesin pesawat yang melesat dalam ketinggian puluhan ribu kaki melintasi Samudera Hindia, aku melihat diriku bersama para penumpang lain sebagai titik-titik kecil yang tak bernama. Setiap kali aku berusaha terpejam untuk tidur, kedua mata Wiwin yang sembab membayang serta merta. Juga kedua bibir ibuku yang perlahan menggeletar antara menahan tangis dan memanjatkan doa. Tak pernah sebelum ini aku merasa begitu jauh dari mana-mana, dari siapa-siapa.

Philadelphia di musim gugur selalu menakjubkan. Ratusan juta daun pepohonan aneka warna yang sesekali berhamburan dihela angin, orang-orang yang berjalan cepat dalam baju hangat dan segera lenyap masuk lorong stasiun subway di bawah tanah atau menyelinap di balik deret pertokoan yang menjulang di sepanjang Market Street. Juga ribuan burung-burung yang terbang hinggap ketika angin berkecepatan 80 km/jam berhenti bersiul kencang di antara celah dan puncak-puncak gedung yang mengelilingi Taman Cinta dengan air mancur besar berwarna jingga persis di jantung kota.
Aku sungguh bersyukur. Lewat proses panjang yang akan kuceritakan kapan-kapan, Wiwin dan anak kami akhirnya bisa kuajak menyusul ke kota tua ini hampir setahun kemudian. Karena aku akhirnya juga berkesempatan untuk melanjutkan program PhD dan tinggal lebih lama, secara perlahan, kami pun kian bersahabat dengan orang-orang, pergantian musim dan irama kota di mana kampusku, Temple University, menjadi salah satu titik kecil berwarna merah di sisi utara.
Bagiku, hidup sering bergerak menurut garis keajaiban yang tak selalu bisa ditebak arahnya.
Suatu malam di musim dingin, ketika kami sedang bercengkerama di apartemen kami yang sederhana, aku bertanya pada istriku setengah menggoda, "Mah, bagaimana kalau aku mati duluan?"
Lama Wiwin memandangku. Pada kedua matanya yang lebar itu kusaksikan kembali banyak peristiwa susah dan senang dalam hidup kami. Ia jadi saksi, saat terbang ke Amerika untuk pertama kalinya pada 2003 dulu, dari Yogya aku cuma berbekal uang dua ratus ribu perak alias dua puluh dolar.
Afkar, anak sulung kami pernah tak sadarkan diri akibat serangan demam yang kelewat tinggi dan harus dilarikan ke emergency room dengan ambulans pada suatu musim dingin menjelang pagi. Aku jatuh bangun menyelesaikan kuliah sambil bekerja sana-sini, dari mulai jaga laundry, menerjemah, sampai mengajar. Wiwin juga pernah bekerja serabutan, dari mulai baby sitting, jadi buruh pabrik, penjaga toko, sekretaris law office dan dental assistanti. Dua kali lagi ia juga harus menjalani operasi C-section untuk melahirkan Nabila dan Ahsan, anak kedua dan ketiga kami, di negeri yang jauh ini.
"Kenapa ngomong begitu?" ia mencengkeramku, lalu air matanya meleleh deras begitu saja. Kami pun berdekapan tanpa bicara.
Seperti tak terasa, kini pernikahan kami sudah lewat sepuluh tahun. Tak jarang kami bertengkar, termasuk untuk perkara yang sederhana. Tapi bagiku, kedua matanya yang seperti telaga yang selalu memantulkan harapan dan kepercayaan hingga aku bisa terus menyongsong tantangan apa saja sampai hari ini. Dalam situasi yang tetap serba seadanya, kurasa aku termasuk orang yang bahagia.
" I Love you, Mah.."

Yogyakarta, 10 April 2013

Pengirim : ACHMAD MUNJID

Friday, April 19, 2013

Bahaya BBM Dua Harga

Sabtu, 20 April 2013

HALUAN politik subsidi BBM akan memasuki fase baru dengan dua harga eceran (dual price) mulai Mei mendatang. Yakni, tetap Rp. 4.500 per liter untuk sepeda motor dan angkutan umum serta Rp. 6.500 - Rp. 7.000 per liter untuk kendaraan pribadi. Targetnya, hemat anggaran Rp. 30 triliun sampai akhir tahun. Asumsi penghematan itu, 46 persen pengguna BBM adalah kendaraan pribadi dan 64 persen lainnya sepeda motor serta angkutan umum.
Ini unik. Sebab, satu barang berkualifikasi teknis sama namun dijual dengan harga berbeda dengan disparitas yang cukup tinggi, yakni sampai Rp. 2.000 ( 44,44 persen) atau Rp. 2.500 (55,56 persen) terhaap harga BBM semula Rp. 4.500 per liter. Gap itu bisa menjadi godaan bagi operator SPBU untuk nakal demi keuntungan sendiri.
Modusnya, tangki BBM dengan harga subsidi dikatakan habis agar BBM dengan harga lebih mahal laku. Bahkan, bisa saja volume jatah BBM untuk harga subsidi dimasukkan pula dalam tangki timbun SPBU agar terjual lebih mahal. Ada dua keuntungan tambahan bagi SPBU. Pertama, mendapat keuntungan dari menjual BBM bersubsidi namun dijual mahal. Kedua, dari pemerintah, operator SPBU tersebut juga mendapat keuntungan subsidi BBM menurut kuota volume jatahnya.
Siapa korbannya? Tentu pengguna sepeda motor dan angkutan umum karena kini SPBU langganan mereka lebih sering pasang papan "Habis". Mau tak mau, mereka beralih membeli BBM yang Rp. 7.000 per liter. Itu bisa tak terhindarkan kalau tangki  di kendaraan mereka nyaris habis.
Opsi dual price dari rakor pengendalian BBM di kantor Kemendagri (16/4/2013) itu tampak baik, sepintas, namun menyimpan potensi konflik horizontal luar biasa di masyarakat. Trial and Error sangatlah berbahaya.
Masalah teknis tersebut, dari jumlah kuota BBM yang diterima masing-masing operator SPBU, hanya pihak operator SPBU sendiri yang mengetahui jenis tangki mana yang subsidi dan mana yang harga baru, mana tangki timbun SPBU yang subsidi dan mana yang jenis satunya sampai dispenser subsidi dan dispenser harga baru. Karena itu, SPBU memiliki kesempatan lebih besar melakukan penyelewengan dalam melayani masyarakat.
Tidak menutup kemungkinan SPBU atau operator bekerja sama untuk cepat-cepat menghabiskan volume kuota BBM jenis subsidi dengan pihak lain untuk dijual diluar SPBU. Beda harga yang cukup tinggi tentu menyuburkan pasar gelap BBM.
Akhirnya, pola dual price BBM Mei mendatang menjadi taktik menaikkan harga BBM secara terselubung ke arah Rp. 6.500-Rp. 7.000 per liter. Kondisi seperti itu malah semakin besar dipermainkan SPBU karena mendapat Delivery Order (DO) dari Pertamina dengan term subsidi, namun dijual dengan harga 44,44 persen atau 55,56 persen lebih tinggi.
Bisnis yang mampu meraup keuntungan 44,44 persen atau 55,56 persen dalam jangka pendek dan likuid seperti halnya bisnis BBM ini sangat langka. Yang lebih membahayakan, terjadi kekacauan di tingkat penyaluran BBM bila kuota bisa dibeli dari jalan belakang.

Cara Jitu PLN
Yang pasti, politik subsidi BBM memang harus segera diakhiri. Ingat, hampir 50 persen BBM kita kini tidak dihasilkan lagi dari sumur-sumur minyak dalam negeri. Impor, baik berupa BBM yang sudah jadi maupun minyak mentah, semakin meningkat geometrikal tiap tahun dan otomatis menggunakan standar harga pasar internasional.
Subsidi dalam APBN tahun ini diperkirakan Rp. 274,7 triliun dengan volume 46 juta kiloliter. Padahal, dengan pertumbuhan kendaraan dan rusaknya infrastruktur sehingga membuat pembakaran mesin tidak efisien yang mengakibatkan lebih banyak BBM yang terbakar, diperkirakan subsidi BBM akan "optimistis" menembus angka Rp. 300 triliun.
Ini sudah tidak fair. Sebab, proses kepemilikan yang mudah, mendorong jumlah kendaraan bermotor berlipat diluar batas kemampuan infrastruktur jalan. Siapa yang paling mereguk keuntungan dari booming kendaraan bermotor di Indonesia? Tentu pabrikan Jepang. Sementara itu, APBN RI justru terseok karena harus menyediakan anggaran 18,10 persen untuk membayar BBM pemilik motor dan Mobil.
Ketimpangan perdagangan Indonesia-jepang itu tidak perlu diikuti kekonyolan lain yang kian merugikan. Kebijakan dua harga ini nyata-nyata merupakan kebijakan parsial yang sangat tergesa-gesa, meski dianggap terbaik diantara seluruh opsi yang pernah ada. Semula, pemerintah meluncurkan rencana pembatasan BBM bersubsidi, rencana kartu elektronik, kartu RFID yang ber-barcode, lima jurus hemat BBM, dan kini malah dual-price untuk satu jenis produk.
Yang paling masuk akal seharusnya mudah. Buatlah kenaikan berkala BBM seperti yang kini dilakukan PLN, yakni 4,3 persen setiap triwulan. Penimbunan tetap bakal ada. Namun, paling banter tangki yang mampu dibangun perseorangan berkisar satu mobil tangki, yakni sekitar 18 ribu liter atau keuntungan Rp. 9 juta per triwulan, jika kenaikan berkala Rp. 500 per liter.
Jika total harga baru yang diharapkan adalah Rp. 7.000, pada triwulan kelima selesai sudah kenaikan berkala dan rakyat sudah terbiasa dengan harga baru tersebut. Keuntungan broker tersebut mungkin Rp. 45 juta pada tahun depan. Namun, dalam jangka itu, mungkin polisi mampu mengendusnya untuk dipenjarakan.
Cara yang paling masuk akal adalh tetap satu harga namun dengan kenaikan berkala seperti yang kini dilakukan PLN. Pemerintah seharusnya belajar dari PLN.

Pengirim : EFFNU SUBIYANTO, Pendiri Forkep ( Forum Pengamat Kebijakan Publik), mahasiswa doktor ilmu ekonomi FEB Unair. ( effnu@yahoo.com)

Foto Sebagai Motivator

Sabtu, 20 April 2013

JEPRET! Saya sering berfoto dengan berbagai gaya hanya untuk mengabadikan sebuah momentum. Tak dinyana, foto juga bisa berfungsi sebagai motivator. Ada temenku yang bercerita, dia pernah mencoba bunuh diri karena merasa putus asa. Setelah mengambil pisau, entah mengapa dompet yang juga berisi foto orang tuanya jatuh. Saat melihat foto itu, dia sadar dan mengurungkan niat untuk bunuh diri.
Kita ketahui, abad 21 ini disebut abad gila. Bunuh diri sudah jadi hal yang biasa. Banyak juga orang yang berkata, berani mati itu sudah biasa, berani hidup baru luar biasa. Setelah mendengar cerita teman saya, saya mengamini bahwa foto sudah beralih fungsi. Saya sendiri seorang yang pemalas untuk kuliah, belajar, dan beribadah. Setelah mencetak foto orang tua berukuran besar dan saya tempel di dinding kamar, saya merasa termotivasi. Foto itu membantu saya untuk semangat kuliah, belajar dan beribadah. Setelah mencetak foto orang tua berukuran besar dan saya tempel di dinding kamar, saya merasa termotivasi.
Foto itu membantu saya untuk semangat kuliah, belajar dan beribadah. Apalagi saat saya bangun tidur dan beranjak untuk kuliah. Jepret!

Pengirim : ACHMAD MI'YARUL ILMI, mahasiswa Jurusan Psikologi UIN Sunan Kalijaga.

Bawa Air Botolan dari Rumah

Jum'at, 19 April 2014

Di lingkungan sekitar kampus saya, terutama di kantin, banyak mahasiswa yang membeli air mineral botolan ketika makan. Memang kebiasaan minum air mineral sehat, namun kita tidak melihat dampak selanjutnya, yakni membuang botol-botol plastik itu. Alangkah banyak yang melakukan kebiasaan ini. Selain menimbulkan sampah, botol plastik sekali pakai itu menjadi masalah lingkungan.
Alangkah baiknya jika kita membawa air minum dari rumah dalam botol yang bisa diisi ulang. Kita tidak akan menghasilkan sampah botol plastik, juga menghemat pengeluaran. Rebus air sendiri di rumah, Atau, jika ingin minum air mineral, kita beli saja air minum kemasan galon. Tabung galon berisi sekitar 19 liter air, sedangkan air botolan berisi maksimal 1,5 liter (penyebutan galon itu salah kaprah karena satu galon sebenarnya 3,785 liter, Red).
Tentu ini lebih hemat karena lebih murah jika dihitung per liter. Saya biasa membawa botol air minum sendiri untuk dibawa kemana-mana dan dapat digunakan kembali kapan saja sehingga tidak lagi menghasilkan sampah.

Pengirim : AGUS ANDY KARISWAN, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya.

Thursday, April 18, 2013

Momentum Mengevaluasi Unas

Kamis, 18 April 2013

Romantika ujian nasional ( unas ) memang penuh warna. Tahun ini sensasi unas terjadi, yaitu keterlambatan distribusi naskah yang mengakibatkan penundaan pelaksanaan unas tingkat SMTA di sebelas provinsi. Mendikbud M. Nuh sampai harus meminta maaf kepada publik. Keterlambatan distribusi dan penundaan unas adalah yang pertama terjadi sepanjang sejarah ujian nasional atau ujian negara.
Kelompok masyarakat yang menolak unas mendapat tambahan amunisi untuk lebih keras menolak unas. Pada 2012, dua lembaga besar, yaitu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PB NU ) dan wantimpres, mendorong peniadaan unas. Sebelumnya, pada 2010, menteri pendidikan nasional berbeda pendapat dengan para rektor PTN. Mendiknas berkehendak hasil atau nilai unas dijadikan instrumen seleksi mahasiswa baru ke PTN, sedangkan para rektor belum bisa menerima.
PB NU menolak unas dengan alasan hasil dan dampak unas jauh dari harapan serta memboroskan anggaran. PB NU menunjuk survei UNESCO 2011 bahwa hanya 6 (enam) persen output pendidikan nasional yang mampu bersaing secara global.
Wantimpres meminta presiden menyetop unas berdasar alasan putusan MA 2009. Putusan dari hasil class action itu memerintahkan penghentian unas sementara waktu hingga pemerintah mampu menyamakan standar pendidikan nasional di seluruh wilayah NKRI seperti disebut oleh PP No. 19/2005. Hingga kini, putusan MA tersebut belum dilaksanakan oleh pemerintah.
Unas banyak dipandang tidak mampu mengukur hasil belajar siswa yang sesungguhnya. Unas hanya mampumengukur hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran, tidak bisa mengukurkualitas input dan prosesnya. Unas hanya mampu mengukur aspek kognisi, tidak bisa mengukur sikap/afeksi dan psikomotorik. Unas hanya digelar satu kali pada akhir kalender akademik dengan tes tulis ( pencil and paper test ).
Banyak fenomena siswa yang rajin, tapi dalam mengerjakan soal unas hasilnya kurang memuaskan karena berbagai sebab temporal. Nasibnya pun sial. Adapun siswa yang malas, ogah-ogahan, ketika unas nasibnya bagus karena sebab-sebab temporal juga. Dialah "pemenang".
Masalah penting lain adalah peningkatan batas kelulusan yang disamakan sebagai peningkatan kualitas pendidikan. Batas kelulusan yang semula ditetapkan 3,01 (2003) menjadi 4,01 (2004), 4,25 (2005), 4,51 (2006), 5,00 (2007), lalu 5,5 (2008), dan seterusnya. Dengan tambahan persyaratan nilai minimal mata pelajaran dan syarat lain-lain, bisa jadi itu menimbulkan angka ketidaklulusan yang tinggi.
Jika itu terjadi, yang menderita tidak hanya anak didik, tetapi juga orang tua merasa malu. Jika anaknya tidak mau mengulang sekolah, itu akan menambah jumlah anak putus sekolah sehingga turunlah kualitas bangsa.
Guru dan sekolahpun mengalami hal serupa. Lebih-lebih para guru yang mengajar mata pelajaran yang diunaskan. Pada 2007, ke belakang hanya ada tiga mata pelajaran yang diunaskan, yakni matematika, bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Mulai 2008 ada enam mata pelajaran, yaitu ditambah biologi, kimia dan fisika untuk jurusan IPA; ekonomi, geografi dan sosiologi untuk jurusan IPS; sejarah budaya, sastra Indonesia, dan bahasa Asing untuk jurusan bahasa; dan tambahan ilmu kalam, ilmu hadis, dan ilmu tafsir untuk madrasah aliyah.
Kurikulum nasional yang berlaku saat ini, ketika unas 2013 digelar, adalah kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK sangat erat berkaitan dengan proyek pendidikan Unicef-UNESCO-Depdiknas tentang MBS (manajemen pendidikan berbasis sekolah).
Kaidah MBS mengharuskan pemberdayaan guru, termasuk di dalamnya pelaksanaan evaluasi. Artinya, evaluasi merupakan tugas yang melekat dengan tugas seorang guru dan sebagai bagian integral dari manajemen sekolah. Demikian juga, masalah penentuan kelulusan siswa adalah tugas, tanggung jawab dan sekaligus hak guru melalui mekanisme sistem organisasi sekolah. 
Penilaian hasil pembelajaran harus dilakukan secara berbasis kelas, portofolio dan penilaian otentik (authentic assessment). Mereka tidak "dihakimi" hanya ketika unas. Tetapi, mereka sudah mengumpulkan berbagai poin dari proses pembelajaran sebelumnya.
KBK dan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) menghajatkan kurikulum untuk dikembangkan dengan bersumber kepada kebutuhan belajar lokal; materi belajar; sumber belajar, bahan belajar dan metode belajar lokal. Dengan demikian, pengalaman belajar yang dikembangkan kepada diri murid benar-benar variatif dan fungsional untuk hidup di wilayahnya. Dengan demikian, praksis unas yang "seragam nasional" tidak simetris dengan filosofi dan konsep KBK dan KTSP.
Pernah unas (lebih tepatnya UAN) akan dihapus seperti kata Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar dalam kompas edisi Jawa Timur, 14 April 2004. Tapi dengan syarat, sekolah dapat dipercaya sesuai dengan kaidah MBS.
Sangat terasa bahwa unas tidak lagi menjadi instrumen pendidikan, melainkan telah menjadi instrumen penjinakan, bisnis, manifestasi kekuasaan, upacara dan mantra. Itu tidak sinkron dengan teori pendidikan konstruktivistik yang dianut KBK dan KTSP. Harus diingat bahwa kurikulum 2013 yang bakal dijalankan Kemendikbud pun beraliran konstruktivistik.
Sebelum ditemukan sebuah model ujian yang memenuhi kaidah pendidikan humanistis, unas akan tetap menjadi kontroversi abadi. Kembalikan saja penentuan kelulusan siswa kepada otonomi dewan guru. Adapun kebutuhan pemerintah untuk mengendalikan mutu pendidikan melalui pemetaan mutu dilakukan dengan cara yang lain, tidak dengan unas yang semakin sarat beban dan masalah.

Pengirim : SUPRIYONO, Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang (UM) - pakprium@fip.um.ac.id

Alarm Terjadwal Bantu Disiplin

Kamis, 18 April 2013


Kriiiiingggggg! Begitu bunyi alarm HP dosen saya tepat saat jam mata kuliah berakhir. Beliau langsung mengakhiri mata kuliahnya. Setelah saya amati, hal yang sama kerap terulang saat beliau memberikan kuliah. Ternyata, dosen saya yang sudah tidak muda lagi itu selalu memasang alarm HP-nya di setiap aktivitasnya. Selain bertujuan mengingatkannya dengan segala aktivitasnya yang padat, alarm tersebut membantu dalam efisiensi waktu.
Dahulu saya hanya memahami alarm sebagai alat pembangun tidur. ternyata, ada hal lebih yang dapat dilakukan dengan menggunakan alarm seperti yang dicontohkan dosen saya itu. Saat ini saya pun mengikutinya. Ketika melakukan aktivitas yang cukup menyita waktu banyak, namun tidak terlalu bermanfaat seperti berbelanja, membuka facebook dan bermain games, saya akan memasang alarm untuk menentukan pukul berapa akan dimulai dan harus diakhiri. Hal ini sangat membantu saya dalam berdisiplin.
Jika beliau yang sudah tua saja masih ingin memanfaatkan waktunya dengan optimal, sudah seharusnya kita yang muda lebih menghargai waktu. Kriiiinggg!.

Pengirim  : NUR AIDA HARAHAP, Mahasiswa Perikanan dan Kelautan Unair.

Wednesday, April 17, 2013

Distorsi Kesucian Perkawinan

Rabu, 17 April 2013

Banyak masyarakat yang gemas saat membaca berita Jawa Pos kemarin, soal anggota DPRD Sampang dari PPP yang melakukan nikah kilat dengan sembilan pelajar. Ditengah-tengah pemerintah mengajukan Rancangan KUHP yang salah satu pasalnya mengancam pidana kumpul kebo, eh ternyata ada modus lain, yakni nikah-cerai kilat.
Sejarah umat manusia sejak primitif sampai modern mengakui sucinya lembaga pernikahan. Pengingkaran terhadap kesucian pernikahan, seperti free-sex, prostitusi, homo seks dan lesbian, tetap dianggap sebagai penyakit masyarakat atau patologi sosial yang harus dihilangkan. Karena itulah, Rancangan KUHP memasukan kumpul kebo sebagai tindak pidana meskipun, anehnya, ada yang menganggap sebagai hak asasi manusia.
Perkawinan dalam bahasa Alquran dikatakan sebagai mitsaqon ghalidha. Kata indah ini hanya dipergunakan sebagai metafor atas perjanjian yang agung dan mulia. Kata tersebut hanya digunakan oleh Allah pada 3 (tiga) peristiwa. Pertama, perjanjian perkawinan (An-Nisa:21) Kedua, perjanjian Allah dengan para rasul (ulul azmi) untuk mendakwahkan dan menjalankan risalah-Nya (Al-Ahzab:7). Para Rasulullah tersebut siap berkorban apa saja, termasuk nyawa. Ketiga, perjanjian Allah dengan Bani Israil agar mematuhi hukum Allah. Jika tidak, mereka akan dibenamkan oleh Allah dengan Bukit Tursina, sebagaimana Allah sebutkan (An-Nisa:153). 
Alangkah luhur dan sakralnya pernikahan dibandingkan dengan bentuk muamalah duniawiah lain. Dengan perkawinan, akan lahirlah anak-anak yang memerlukan pemeliharaan dan perlindungan dua orang tuanya. Agar dikemudian hari menjadi generasi yang baik (An-Nisa : 9 dan Al-Anbiya : 105). Dengan demikian, dalam Islam, perkawinan bukan hanya persoalan biologis saja, tetapi psikologis dan sosiologis. Memandang hubungan seksual hanya dari segi biologis berarti sama dengan apa yang dilakukan hewan.
Masyarakat Indonesia kini kian permisif sehingga mengarah pada berkurangnya sakralitas perkawinan. Pertama, semakin maraknya prostitusi atau perzinaan berbayar. Ada anggapan perzinaan "legal" bila dilakukan di lokalisasi. Label ini memberikan konotasi sah dan perlu mendapat pembinaan, perlindungan, pelestarian dari negara. Sebaliknya, yang dilakukan di hotel, motel, villa, panti pijat, night club, atau gubuk-gubuk kumuh dibantaran sungai dan sepanjang rel kereta api, serta hotel short time adalah terselubung, "tidak legal".
Kedua, semakin banyaknya kasus-kasus premarital intercourse karena semakin bebasnya pergaulan muda-mudi, termasuk dalam hubungan seksual. Juga semakin banyaknya kasus perselingkuhan (extramarital intercourse). Sebuah tayangan tengah malam sebuah stasiun TV beberapa hari lalu melaporkan "Produser dan Pelaku Film Porno". Di balik kelambu transparan pelaku melakukan hubungan yang hanya layak dilakukan oleh suami istri. Kaki-kaki mereka sengaja ditampakkan di luar kelambu untuk disyuting kamerawan. Astaghfirullah.
Ketiga, semakin banyaknya anak yang lahir diluar perkawinan. Indikasinya semakin banyaknya bayi dibuang, kasus-kasus pengguguran (abortus provocatus), kawin paksa, atau "kawin hamil" dengan lelaki yang harus bertanggung jawab atau dengan orang lain yang tidak menghamili. Ada juga wanita yang sanggup menerima kehadiran anak tanpa ayah yang sah.
Keempat, semakin banyaknya orang yang membujang ( tabatthul ). Ada pandangan bahwa perkawinan tidak menjamin kebahagiaan dan, bahkan bisa menghambat karir. Diantara mereka kemudian ada yang mencari jalan lain homoseks atau lesbian, selain kumpul kebo dan prostitusi.
Kelima, semakin banyaknya kumpul kebo. Praktik semacam ini di kota-kota besar sudah tidak dipersoalkan lagi, tapi di desa sering digregek. Akhirnya, masyarakat main hakim sendiri untuk menegakkan moral yang justru menimbulkan persoalan hukum lain.
Sebenarnya, ada sanksi pidana untuk pelanggaran UU Perkawinan sebagaimana diatur pasal 45 PP Nomor 9/1975. Sanksinya adalah hukuman kurungan tiga bulan atau denda Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). Tapi pasal ini mandul karena tidak pernah ada pelanggar yang dipidanakan dengan pasal ini.
Untuk menyembuhkan gejala desakralisasi perkawinan itu, perlu langkah intensif. Perlu fungsionalisasi dan revitalisasi agama (Islam) bagi individu dan masyarakat agar menghargai pranata perkawinan. Perbuatan kawin cerai berulang-ulang, apalagi secara kilat, tidak sejalan dengan tujuan syariat, bertentangan dengan moral dan etika masyarakat Islam. Karena itu, perlu diperbanyak biro konsultasi masalah keluarga yang dibentuk oleh lembaga-lembaga masyarakat.
Perlu juga reformasi hukum nasional dengan mentransformasikan hukum Islam sebagai salah satu bahan baku hukum nasional. Misalnya soal pidana kumpul kebo tadi. Sudah menjadi watak masyarakat Islam tidak akan dapat dilepaskan dari hukum agamanya.
Yang penting, penegakaan hukum (law enforcement) harus dianggap pilar yang paling utama. Banyak lokalisasi, hotel dan tempat-tempat mesum dibakar massa karena mereka tidak menemukan hukum publik yang dapat memberikan solusi yang dipandang patut dan tepat.

Pengirim : ABD. SALAM, Wakil Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo. (abd.salam_salam@yahoo.co.id).

Telan Biji Mahoni, Anti Nyamuk

 Rabu, 17 April 2013

Saat musim hujan tiba, pertumbuhan nyamuk sangat pesat. Siapapun pasti ogah didekati si mungil penghisap darah tersebut. Untuk mencegah terjadinya hal itu, sebenarnya kita bisa memanfaatkan kekayaan alam yang sangat melimpah. Salah satunya adalah mengonsumsi biji mahoni. Sepengetahuan saya, biji itu oleh nenek moyang kita sering dikonsumsi sebagai obat anti nyamuk alami. Jika biji mahoni sudah ditelan, nyamuk tidak mau menggigit.
Hal itu dibuktikan oleh paman saya yang berdinas di Perhutani sering berkeliling hutan. Musuh terberatnya adalah nyamuk. Banyak sekali nyamuk di dalam hutan yang sewaktu-waktu bisa menggigit. Karena itu, paman saya menelan biji mahoni. Pahit sebentar, tapi hasilnya nyamuk menjauh. Saya dan keluarga serta tetangga ikut mempraktikan itu. Daripada bingung bagaimana melindungi anak-anak dari nyamuk, lebih baik konsumsi saja biji mahoni yang telah tersedia melimpah.

Pengirim : SANTI KARLINA, perawat Puskesmas Wonokromo, Surabaya.

Tuesday, April 16, 2013

Meng-Hipnotis Para Koruptor

Seringkali kita dipertontonkan aksi pembohongan ke publik terutama penanganan kasus mega korupsi di negeri ini, apalagi yang melibatkan para pejabat dan para pengusaha kakap yang ber-kongkalingkong dengan para pengambil kebijakan di negeri ini.
Pada saat saya menonton acara televisi “Uya Emang kuya” yang senang “ngerjain” muda-mudi yang lagi pacaran. Mereka dengan polosnya ngomong apa adanya dibawah pengaruh hipnotis. Terpikir dalam benak saya “gimana kalo persidangan Tipikor itu menggunakan cara hipnotis” serta disiarkan secara live di semua TV Nasional. Dengan pertimbangan mereka pasti akan ngomong dan ngaku tentang korupsi yang dilakukan baik sendiri maupun secara sistemik juga bisa merupakan “Efek Jera” bagi para pelaku dan orang yang akan korupsi juga harus siap menanggung malu bersama sanak keluarganya.
Mungkin gagasan ini bisa segera dijadikan RUU yang kemudian dikeluarkan UU tentang sidang tipikor menggunakan cara hipnotis ketimbang membahas RUU tentang santet yang saya rasa negeri ini malah mengalami kemunduran sekali baik dari segi  teknologi maupun segi akhlak.